Sepak Bola - Belajar

Membangun Sepakbola, Belajarlah dari Jepang Timo Scheunemann - detikSport Jumat, 04/10/2013 16:50 WIB http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/10/04/162847/2378239/1486/3/membangun-sepakbola-belajarlah-dari-jepang. Saat bercerita tentang pengalaman saya bersama anak-anak SSB Tugu Muda Semarang di piala dunianya anak-anak, Danone Nations Cup, beberapa waktu lalu, saya sempat mengutarakan salutnya saya pada wakil-wakil Jepang di event tahunan tersebut. Cara bermain mereka secara nyata menunjukkan keberhasilan federasi sepakbola Jepang (JFA) dalam membina sepakbola di negara mereka. Pada tahun 2005 presiden JFA saat itu, Saburo Kawabuchi, dengan tegas mengungumkan target federasi: menjadi tuan rumahPiala Dunia untuk kedua kalinya sekaligus menjuarai Piala Dunia 2050! Kita tahu, di dunia sepakbola target tertinggi ya menjuarai Piala Dunia. Yang menarik buat saya adalah waktu yang diberikan guna memenuhi target. Tidak instan! Bahkan waktu pengumuman target tersebut pun tidak dilakukan dengan sembarangan. Jepang telah memasuki fase keempat dari lima tahapan dalam perjalanan panjang mereka menuju target juara dunia. Baru setelah fase keempat berjalan dengan baik --apa saja lima tahapan JFA akan saya jabarkan nanti-- JFA berani mengungumkan target juara dunia pada tahun 2050. Ini sangat kontras dengan tradisi "asal pasang target" yang sering kali terjadi di negara kita. Untuk mencanangkan target secara realistis (bukan "target dream world" atau "target dunia kayalan") diperlukan pengetahuan tentang (1) kekuatan lawan, serta (2) kekuatan diri sendiri. Karena merasa telah melakukan persiapan yang baik dan sistematis dari segala sisi (dimulai dari pembinaan usia muda, kepelatihan, kompetisi amatir dan pro, scouting pemain secara objektif dan sistematis, sampai pembentukan dan persiapan timnas yang optimal) timbullah rasa optimistis sehingga target tinggi kemudian dicanangkan. Seharusnya demikian. Seharusnya Yang terjadi sebaliknya; tidak menanam tapi ingin menuai. It's unnatural, people! Itu melawan hukum alam. Jepang berbeda. Kita tahu budaya Samurai masih sangat berpengaruh pada budaya modern Jepang. Kedisiplinan, juga sifat ingin memberikan yang terbaik yang berkaitan dengan adanya rasa malu bila merasa gagal memenuhi harapan -- budaya bunuh diri bila gagal ala pejuang Samurai menang sudah tak lazim di zaman modern ini, tapi budaya malu masih kental dan membudaya), membuat JFA tidak asal pasang target dan bahkan baru mengungumkan target mereka pada tahun 2005, saat mereka yakin program pembinaan di Jepang telah berjalan dengan baik dan sudah berada di tahapan keempat dari lima tahapan Apa saja kelima tahapan pembinaan ala JFA? Tahapan pertama terjadi pada tahun 1991. Pada tahun tersebut JFA menghapus liga semi pro yang ada dan mengubahnya dengan liga profesional bertajuk "J-League". Yang menarik, sebelum melakukan perubahan tersebut petinggi JFA melakukan studi banding ke Indonesia. Ke Indonesia, yang bener? Ya, ke Indonesia. Saat itu sistem bola Indonesia sangat bagus. Liga Galatama ramping (tidak banyak klub) dan ada keterkaitan yang erat (bukan sekedar sponsorship) antara klub dan perusahaan besar. Aspek-aspek inilah yang kemudian diterapkan di J-League. Dimulai dengan sepuluh klub saja pada 1991, secara bertahap keanggotaan J-League ditambah dengan target (yang sekali lagi tidak instan tapi bertahap) keanggotaan J-League akan menjadi 22 klub pada 2016. Sayang, Galatama kemudian hancur karena masalah match fixing. Penanggulangan masalah saat itu tidak tepat. Akhirnya kita kembali ke APBD dan menjauh dari sepakbola profesional (dalam arti kata yang sebenarnya), sementara Jepang pelan-pelan tapi pasti menapaki fase-fase pembinaan selanjutnya. Tahapan kedua pembinaan ala JFA adalah mendidik ribuan bahkan puluhan ribu pelatih Jepang dengan harapan pengetahuan dan kemampuan melatih mereka akan meningkat. Efeknya jelas terlihat. Jutaan anak-anak Jepang mendapatkan program latihan yang lebih berkualitas. Hari lepas hari. Inilah backbone atau tulang punggung pembinaan sepakbola; latihan yang berkualitas. Hari demi hari. Program latihan berkualitas yang dipadu dengan pengetahuan tentang taktik, peningkatan fisik secara efektif, gizi yang menunjang, dan lain-lain dipraktekkan hari demi hari. Semua itu membutuhkan pelatih yang berkualitas. Jepang kini memiliki jauh lebih banyak pelatih berlisensi A AFC dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Masih heran Shinji Kagawa dibentuk di Jepang? Saat saya menjelaskan pentingnya dibangun akademi kepelatihan satu pintu untuk pelatih (sekaligus wasit) kepada seorang pengurus teras PSSI, saya mendapatkan respons yang membuat saya mengundurkan diri sebagai direktur pembinaan usia muda, dan bahkan hampir membuat saya berhenti total dari sepakbola Indonesia. "Ah, yang main 'kan pemain, Pak Timo," kata si pejabat teras tersebut. Saat itu juga saya sadar reformasi telah gagal. Sampai hari ini saya tidak tahu lagi harus percaya siapa di dunia sepakbola Indonesia. Berkali-kali saya ingin melempar handuk (bukan cuma melempar, tapi juga menginjak-injaknya), dan hanya mampu bertahan berdasarkan keyakinan bahwa saya melakukan ini semua untuk Tuhan dan sesama. Sepakbola adalah tempat yang teramat sangat gelap dan saya ingin menjadi secuil terang di sana. Fase ketiga dalam road map JFA adalah pembentukan akademi-akademi yang berafiliasi dengan klub J-League. Di Danone Nations Cup yang baru berlalu, contohnya, Jepang diwakili oleh tim U12-nya Yokohama Mariners. Selain itu ada akademi bentukan JFA sendiri yang berisikan pemain-pemain paling berbakat yang disaring dari akademi-akademi tim J-League. Dengan kata lain Jepang punya timnas berbagai jenjang yang selalu bersama hasil saringan yang berjenjang pula. Ambil sebagai contoh Paul Tsuji. Pemain muda berumur 15 tahun yang berdomisili, katakanlah, di kota Yokohama, menunjukkan bakat yang luar biasa. Tsuji akan diambil dari klub kecilnya ke Akademi Yokohama Mariners U-16. Kalau ia juga berhasil menonjol di Mariners, ia akan ditarik ke Akademi JFA, alias masuk timnas KU (Kelompok Umur) Jepang. Berjenjang. Prosesnya kompetitif dan Jelas. Fase keempat JFA adalah memproduksi pemain yang sedemikian berkualitasnya sehingga mampu bermain di liga-liga top dunia. Coba perhatikan nama-nama pemain timnas Jepang saat ini. Di bawah mistar ada Eiji Kawashima yang bermain di Standard Liege, Belgia. Di barisan pertahanan ada Atsuto Uchida yang bermain untuk Schalke 04 dan Gotoku Sakai yang bermain di VFB Stuttgart, Jerman. Ada juga Yuto Nagatomo (Inter Milan), juga Maya Yoshida (Southampton). Di lapangan tengah ada Keisuka Honda (CSKA Moscow) dan duo Nuernberg, Hiroshi Kiyotake dan Makoto Hasebe. Di barisan depan ada duo Shinji; Shinji Kagawa (MU) dan Shinji Okazaki (Mainz 05). Sederet nama di atas masih ditambah nama-nama lainnya yang berpeluang dipanggil yakni Hajime Hosagai (Hertha Berlin), Takashi Innui (Eintracht Frankfurt), Yuki Otsu (VVV Venlo), Hiroki Sakai (Hannover 96), Ryo Miyaichi (Arsenal), dan Mike Havenaar (Vitese). Jelas terlihat Jepang kini berada di fase keempat. Kerja keras JFA selama bertahun-tahun membangun satu fase demi fase berikutnya menuai hasil yang luar biasa; klub-klub top Eropa tergila-gila pada pemain Jepang. Budaya pemain Jepang yang disiplin cocok dengan budaya Eropa. Terlebih lagi mereka terdidik dengan baik sesuai dengan azas-azas sepak bola moderen. Sebagai bonus, pemain Jepang termasuk murah. Murah tapi tidak murahan. Fase ini penting karena JFA sadar, sebaik-baiknya J-League masih lebih baik liga-liga top Eropa. JFA ingin pemain-pemain Jepang bisa ditempa dari sisi mental dan permainan untuk kemudian menerapkan pengalaman mereka saat bermain untuk timnas Jepang; The Blue Samurai. Julukan yang pas untuk mereka. Banyak nilai positif terkandung di sana. Karena sudah berada di fase keempat JFA berani mengungumkan target super tinggi mereka; juara Piala Dunia pada tahun 2050! Anda percaya Jepang mampu? Saya percaya. Mengapa? Because its natural, people. Karena itu sesuai dengan hukum alam. Mereka menabur karena itu mereka akan menuai! JFA memiliki visi. Mereka memiliki road map. Mereka bekerja dengan keras dan sistematis sebelum berani berkoar ini itu. Sungguh patut ditiru. Salor (Salam Olahraga)! * Tentang penulis lihat di sini * Akun twitter: @coachtimo * Website: www.coachtimo.org

No comments:

Post a Comment